Aya
: “Belum ada seseorang yang bisa membuat ku merasakan sesuatu.”
Mahi
: “Woy, non! Jangan kebanyakan nonton film india biar ngga keseringan ngayal
punya pangeran impian dari negeri king khan.”
Aya
: “hey, ini tuh bukan khayalan tapi sebuah harapan. Sama seperti halnya kita
percaya bahwa tulang rusuk, tidak akan pernah tertukar.”
Setelah
pernikahan Anggi, kamu yang lebih sering menemaniku, dan saat ini kamu sedang dalam persiapan pernikahan. Jadi tolong,
setidaknya “jangan ambil” harapan yang bisa menemaniku setelah kamu menikah
nanti.
Mahi
: “Iyah, tapi kamu jangan terlalu memilih Ay”
Aya
: “Nih, aku mau tanya sama kamu; kamu mau menikah sama Arfin, karena dia punya
sesuatu yang menurut kamu tidak di miliki oleh pria lain, iya kan? Terus, apa itu
bukan “memilih” namanya? Jadi bohong!, kalau ada yang mengatakan; “aku ngga
pilih-pilih kok”.
Maka biarkan aku memperbaiki diri, agar jika Allah telah “pilihkan” seseorang untukku, aku telah cukup pantas untuknya.”
Maka biarkan aku memperbaiki diri, agar jika Allah telah “pilihkan” seseorang untukku, aku telah cukup pantas untuknya.”
Mahi
: “Dan aku berharap “seseorang” itu memiliki keahlian khusus agar bisa
mengalahkan segudang argument keren mu itu”.
Perdebatan
antar sahabat itu mendekatkan. Dan hal itu yang kini ku rindu. Setelah Anggi,
lalu Mahi. Dan aku, masih sendiri. Sendiri yang berjanji untuk terus memperbaiki
diri.
Sahabat
ku Anggi menikah dengan pria yang sebelumnya tidak Aku dan Mahi kenal. Sehingga
jika Anggi tidak bercerita, kami berdua tidak akan pernah tahu apapun tentang hubungannya
dengan pria yang di pilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya.
Setelah lulus SMA
Anggi pernah pacaran dengan teman sekelas, meski tak berlangsung lama, dan setelah
hubungan yang tidak berlangsung lama itu, Allah arahkan dia pada pemilik tulang
rusuk yang sebenarnya.
Perubahan
yang sebenarnya terjadi otomatis bagi perempuan yang telah menikah, Anggi menjadi
jarang sekali bisa berkumpul bersama kami, di tambah Allah tak menunda untuk memberinya
anugerah seorang bayi.
Pernah
suatu waktu Aku dan Mahi ke rumah kontrakannya untuk mengajaknya nonton film,
saat itu dia sedang bersama bayi mungilnya.
Anggi mengatakan tidak, untuk
ajakan kami, keputusan itu dia ambil bukan karena tanggung jawabnya sebagai seorang
istri tapi untuk tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Karena sebenarnya suaminya
mempersilahkannya pergi jika memang Anggi ingin pergi. Namun Anggi tetap pada keputusannya.
Dan untuk alasan yang sama, kami dengan senang hati mengalah.
Berbeda
dengan Anggi, sahabat ku Mahi menikah dengan pria yang memang telah kami kenal
sejak di sekolah menengah pertama.
Awalnya
Mahi sendiri pun tidak menduga bahwa, Arfin lah pemilik tulang rusuk itu.
Karena sebelum bersama Mahi, Arfin pernah menjalani hubungan pacaran dengan
Ana, yang juga teman kami. Dan hal itulah yang menjadi ganjalan besar bagi Mahi
untuk menerima Arfin.
Aku
pernah di mintai tolong oleh Arfin untuk berbicara pada Mahi yang masih terus
menolaknya karena masalah hubungan sebelumnya dengan Ana. Saat itu aku harus
tetap memposisikan diriku di tengah, tidak memihak Mahi, Ana, apalagi Arfin.
Ku katakan padanya untuk menyelasaikannya secara dewasa.
“Kalau mau memulai hubungan baru, mulai lah dengan tanpa membuat siapa pun terluka. Dan mengenai Mahi, kalau memang loe serius sama dia, perjuangkan, kemudian buktikan! Karena ngga semua cewek gampang jatuh cinta”.
“Kalau mau memulai hubungan baru, mulai lah dengan tanpa membuat siapa pun terluka. Dan mengenai Mahi, kalau memang loe serius sama dia, perjuangkan, kemudian buktikan! Karena ngga semua cewek gampang jatuh cinta”.
Kepada
Ana, aku pun coba bertanya tentang apa yang dia rasa. Dan berbeda dengan
pengakuan Arfin yang ku dengar lewat Mahi, Ana merasa dirinya lah yang lebih tersakiti
dari berakhirnya hubungan itu.
Aku
rasa Mahi benar-benar dilema. Karena sejak saat itu, Mahi sudah tidak pernah
cerita apapun lagi tentang kelanjutan hubungannya dengan Arfin. Aku selalu tahu
dari orang lain, hingga kabar bahagia itu ku dengar.
Dan
sekali lagi, Tulang Rusuk memang tidak akan pernah tertukar.
Aku
yang terkadang membagi moment bahagia ke media social, untuk kali ini tidak ku
lakukan. Karena aku tidak ingin menjadi pembeda antara bahagia dan luka.
Sebelum
kisah Mahi dan karena kisah Anggi aku sempat berpikir, mungkin lebih baik jika
aku menikah dengan teman sendiri karena tak perlu bagiku untuk
memperkenalkannya pada teman-teman, dan tak perlu berusaha membuatnya nyaman.
Namun, dengan adanya kisah Mahi dan Arfin, aku jadi harus kembali berpikir
dengan kesimpulanku itu.
Menikah
dengan pria yang baru ku kenal karena ta’aruf-an, atau dengan pria yang sebelumnya di sebut
teman, asal Allah berkenan.
Dear
Jodoh,
Jika
ada yang bilang kamu itu harus Shaleh, baik, dan pekerja keras, kurasa itu
bukan sebuah kriteria, tapi sesuatu yang memang harus di miliki oleh seorang pria.
Aku tidak pernah secara spesifik menginginkan seperti apa dirimu, karena tampan
bisa dengan mudah terlihat dari bagaimana sikap mu.
Namun
yah, aku punya satu hal yang mungkin bisa di sebut syarat; Kamu bukan perokok.
Dimana
diri mu? seperti apa rupa mu? Lalu bagaimana dan kapan kita akan bertemu?
Hanya
Allah yang tahu.
Tentang
jodoh, ku percayakan sepenuhnya pada ALLAH. Biar ku nikmati misteri tentang
kapan tulang rusuk ini akan di kembalikan pada pemiliknya.
Nurhayati Ne_tea