Selasa, 07 Maret 2017

Tulang Rusuk



Aya : “Belum ada seseorang yang bisa membuat ku merasakan sesuatu.”

Mahi : “Woy, non! Jangan kebanyakan nonton film india biar ngga keseringan ngayal punya pangeran impian dari negeri king khan.”

Aya : “hey, ini tuh bukan khayalan tapi sebuah harapan. Sama seperti halnya kita percaya bahwa tulang rusuk, tidak akan pernah tertukar.”
Setelah pernikahan Anggi, kamu yang lebih sering menemaniku, dan saat ini kamu sedang dalam persiapan pernikahan. Jadi tolong, setidaknya “jangan ambil” harapan yang bisa menemaniku setelah kamu menikah nanti.
 
Mahi : “Iyah, tapi kamu jangan terlalu memilih Ay”

Aya : “Nih, aku mau tanya sama kamu; kamu mau menikah sama Arfin, karena dia punya sesuatu yang menurut kamu tidak di miliki oleh pria lain, iya kan? Terus, apa itu bukan “memilih” namanya? Jadi bohong!, kalau ada yang mengatakan; “aku ngga pilih-pilih kok”.
Maka biarkan aku memperbaiki diri, agar jika Allah telah “pilihkan” seseorang untukku, aku telah cukup pantas untuknya.”

Mahi : “Dan aku berharap “seseorang” itu memiliki keahlian khusus agar bisa mengalahkan segudang argument keren mu itu”.


Perdebatan antar sahabat itu mendekatkan. Dan hal itu yang kini ku rindu. Setelah Anggi, lalu Mahi. Dan aku, masih sendiri. Sendiri yang berjanji untuk terus memperbaiki diri.

Sahabat ku Anggi menikah dengan pria yang sebelumnya tidak Aku dan Mahi kenal. Sehingga jika Anggi tidak bercerita, kami berdua tidak akan pernah tahu apapun tentang hubungannya dengan pria yang di pilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya.
Setelah lulus SMA Anggi pernah pacaran dengan teman sekelas, meski tak berlangsung lama, dan setelah hubungan yang tidak berlangsung lama itu, Allah arahkan dia pada pemilik tulang rusuk yang sebenarnya.
Perubahan yang sebenarnya terjadi otomatis bagi perempuan yang telah menikah, Anggi menjadi jarang sekali bisa berkumpul bersama kami, di tambah Allah tak menunda untuk memberinya anugerah seorang bayi.
Pernah suatu waktu Aku dan Mahi ke rumah kontrakannya untuk mengajaknya nonton film, saat itu dia sedang bersama bayi mungilnya.
Anggi mengatakan tidak, untuk ajakan kami, keputusan itu dia ambil bukan karena tanggung jawabnya sebagai seorang istri tapi untuk tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Karena sebenarnya suaminya mempersilahkannya pergi jika memang Anggi ingin pergi. Namun Anggi tetap pada keputusannya. Dan untuk alasan yang sama, kami dengan senang hati mengalah.

Berbeda dengan Anggi, sahabat ku Mahi menikah dengan pria yang memang telah kami kenal sejak di sekolah menengah pertama.
Awalnya Mahi sendiri pun tidak menduga bahwa, Arfin lah pemilik tulang rusuk itu. Karena sebelum bersama Mahi, Arfin pernah menjalani hubungan pacaran dengan Ana, yang juga teman kami. Dan hal itulah yang menjadi ganjalan besar bagi Mahi untuk menerima Arfin.
Aku pernah di mintai tolong oleh Arfin untuk berbicara pada Mahi yang masih terus menolaknya karena masalah hubungan sebelumnya dengan Ana. Saat itu aku harus tetap memposisikan diriku di tengah, tidak memihak Mahi, Ana, apalagi Arfin.
Ku katakan padanya untuk menyelasaikannya secara dewasa. 
“Kalau mau memulai hubungan baru, mulai lah dengan tanpa membuat siapa pun terluka. Dan mengenai Mahi, kalau memang loe serius sama dia, perjuangkan, kemudian buktikan! Karena ngga semua cewek gampang jatuh cinta”.
 
Kepada Ana, aku pun coba bertanya tentang apa yang dia rasa. Dan berbeda dengan pengakuan Arfin yang ku dengar lewat Mahi, Ana merasa dirinya lah yang lebih tersakiti dari berakhirnya hubungan itu.
Aku rasa Mahi benar-benar dilema. Karena sejak saat itu, Mahi sudah tidak pernah cerita apapun lagi tentang kelanjutan hubungannya dengan Arfin. Aku selalu tahu dari orang lain, hingga kabar bahagia itu ku dengar.
Dan sekali lagi, Tulang Rusuk memang tidak akan pernah tertukar.

Aku yang terkadang membagi moment bahagia ke media social, untuk kali ini tidak ku lakukan. Karena aku tidak ingin menjadi pembeda antara bahagia dan luka.
Sebelum kisah Mahi dan karena kisah Anggi aku sempat berpikir, mungkin lebih baik jika aku menikah dengan teman sendiri karena tak perlu bagiku untuk memperkenalkannya pada teman-teman, dan tak perlu berusaha membuatnya nyaman. Namun, dengan adanya kisah Mahi dan Arfin, aku jadi harus kembali berpikir dengan kesimpulanku itu.

Menikah dengan pria yang baru ku kenal karena ta’aruf-an, atau dengan pria yang sebelumnya di sebut teman, asal Allah berkenan.

Dear Jodoh,
Jika ada yang bilang kamu itu harus Shaleh, baik, dan pekerja keras, kurasa itu bukan sebuah kriteria, tapi sesuatu yang memang harus di miliki oleh seorang pria. Aku tidak pernah secara spesifik menginginkan seperti apa dirimu, karena tampan bisa dengan mudah terlihat dari bagaimana sikap mu.
Namun yah, aku punya satu hal yang mungkin bisa di sebut syarat; Kamu bukan perokok.
Dimana diri mu? seperti apa rupa mu? Lalu bagaimana dan kapan kita akan bertemu?
Hanya Allah yang tahu.

Tentang jodoh, ku percayakan sepenuhnya pada ALLAH. Biar ku nikmati misteri tentang kapan tulang rusuk ini akan di kembalikan pada pemiliknya.



Nurhayati Ne_tea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JOHAN

JOHAN “Bu besanan yuk!” pinta seorang ibu pada ibuku “Hayyu.” Jawab ibuku segera Aku hanya menjawab dengan senyum termanisku j...